Di Balik Bening Mata Air,Tak Ada Air Mata

Ya Allah, izinkan hamba menutup mata dengan senyuman.

Name:
Location: Semarang, Islam, Indonesia

Thursday, July 28, 2005

Menjemput Rezeki

"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya." (QS. Al-Mulk : 15).

Menjemput 'kran rezeki' yang telah ditetapkan Allah SWT merupakan kewajiban setiap muslim. Dalam menjemput rezeki, secara teknis kita akan dihadapkan dengan zona rezeki yang baik dan rezeki yang tidak baik, rezeki yang halal dengan rezeki yang tidak halal. Hal itu sebagaimana tersurat dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 57, "... makanlah makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu;..."

Ayat di atas, secara tersirat menjelaskan, sesungguhnya rezeki yang disebar Allah terdiri atas rezeki yang baik dan rezeki yang tidak baik, dan kita diperintahkan untuk menjemput rezeki yang baik-baik saja. Tergelincirnya seseorang menikmati rezeki yang tidak baik disebabkan faktor ketakutan, kegelisahan, dan tidak yakin terhadap jatah yang telah ditetapkan Allah. Mereka takut miskin, padahal perasaan itu hanya bisikan setan. Sebagaimana firman Allah, "Setan itu menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu melakukan kejahatan." (QS. Al Baqarah : 268). Sesungguhnya Allah dalam Al-Quran telah bersumpah akan menjamin rezeki semua makhluknya, "Dan di langit terdapat rezekimu dan apa-apa yang dijanjikan kepadamu. Demi tuhannya langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar, seumpama perkataanmu." (QS. Adz-Dzariyat : 22 - 23).

Dengan demikian, mengapa harus khawatir dengan rezeki? Toh setiap orang sudah ditetapkan porsi rezeki yang bakal diterimanya. Yang harus menjadi perbincangan, bagaimana menjemput rezeki kita agar seluruhnya dapat dinikmati? Sisi lain yang tidak dapat diabaikan, kita harus mampu memilah rezeki yang baik dan tidak baik, atau rezeki yang halal dengan rezeki yang tidak halal.

Jika kita bertanya, manakah yang lebih luas, rezeki halal atau rezeki haram? Menurut konteks fikih, pintu rezeki halal lebih luas. Hal itu dapat kita analogikan sebagai berikut, banyaknya jenis makanan atau minuman yang dilarang Allah untuk dikonsumsi ternyata lebih sedikit, ketimbang makanan atau minuman yang tidak dilarang. Bangkai, hewan berkuku tajam, dan marus adalah jenis makanan yang dilarang, selebihnya halal. Mencuri, menipu adalah jenis pekerjaan yang dilarang, selebihnya halal. Jadi, jenis rezeki yang halal itu sebenarnya lebih banyak.

Berkaitan dengan proses menjemput rezeki yang halal dan tidak halal pun memiliki perbedaan. Dalam menjemput rezeki halal ternyata lebih menyenangkan dan menentramkan daripada menjemput rezeki haram. Mengapa demikian? Dalam teknis menjemput rezeki —baik halal maupun haram—ternyata sama, di antaranya cape, melelahkan, dan butuh keterampilan. Tetapi, bedanya dalam menjemput rezeki halal kita akan memperoleh imbalan berupa pahala. Sementara dalam menjemput rezeki haram kita akan mendapat imbalan berupa 'palu' alias siksa, baik kelak di yaumil-akhir atau 'palu' pengadilan karena terbukti melakukan kesalahan.

Kunci utama dalam menjemput rezeki halal adalah ikhtiar dan tawakal. Sikap tawakal tidak identik dengan pasrah, apa adanya, kumaha engke, atau malas. Tawakal menurut bahasa berasal dari kata 'wakala' artinya menyerahkan 'sesuatu'. Itulah sebabnya, Yusuf Qardhawi mengemukakan, tawakal merupakan cabang iman kepada Allah SWT, yang menyerukan kepada penyerahan diri kepada Allah SWT, semata tanpa mengabaikan sebab. Seiring dengan ungkapan itu, Abu Turab an-Nakhsyaby menjelaskan, tawakal adalah gerakan untuk ubudiyah, menggantungkan hati kepada penanganan Allah, ketenangan kepada qadha dan qadar Allah SWT, kedamaian menerima kecukupan dari Allah, bersyukur jika diberi dan bersabar jika ditahan.

Tawakal adalah pancaran dari sikap optimis yang dibuktikan dengan kekuatan doa dan kekuatan ikhtiar secara optimal. Dengan kata lain, tawakal adalah usaha yang dilakukan sepenuh hati dan dibuktikan dengan kesungguhan secara fisik. Sikap tawakal seorang muslim bukan pada hasil tetapi pada proses. Ketika seekor kuda diikat atau ditambatkan pada sebatang pohon agar tidak lepas adalah sebuah proses tawakal. Toh, nanti ternyata setelah kuda diikat dengan kuat tetapi tetap bisa kabur itu adalah semata-mata kehendak Allah SWT. Demikian makna tawakal yang diajarkan panutan kita, Rasulullah SAW.

Konsep tawakal yang diajarkan Rasulullah memiliki keutamaan yang sangat erat dengan pola hidup seorang muslim. Pertama, sikap tawakal sangat disukai Allah. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 159, "Karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka tawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." Kedua, dengan sikap tawakal, Allah akan mencukupkan keperluan kita. Hal itu sesuai dengan janji Allah dalam Al-Quran surat At-Talaq ayat 3. Ketiga, sikap tawakal merupakan bukti iman yang benar. Firman Allah, "Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian enar-enar orang yang beriman." (QS. Al-Maidah : 23). Keempat, dengan tawakal Allah akan memudahkan urusan rezeki kita. Rasulullah bersabda, "Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi kalian rezeki, sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung yang pergi dalam keadaan perut kosong dan kembali lagi dalam keadaan kenyang." (HR. Tirmidzi).

Beranjak dari keutamaan tawakal, maka dapat dipastikan dalam setiap gerak langkah saat menjemput rezeki akan selalu melahirkan rasa optimis yang tinggi. Kondisi ini sejalan dengan hakekat kehadiran rezeki, yakni dari mana memperoleh rezeki dan bagaimana membelanjakan rezeki tersebut. Soal banyak sedikit rezeki yang diperoleh bukan masalah. Toh, posisi kita dalam tataran rezeki hanya sebagai pemegang amanah, bukan pemilik.

Itulah sebabnya, kita tidak perlu risau dalam menjemput rezeki. Modal utama yang perlu disiapkan adalah mengedepankan keyakinan diri (optimis) seraya mengimbanginya dengan ikhtiar dan doa secara sungguh-sungguh.

Wallahu a’lam bish shawab.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home